Minggu, 18 Januari 2009

Minggu, 11 Januari 2009

" Konser Kami yang Menuai Kesuksesan "


Konser apresiasi antara SMM Jogja dan Lampung Orchestra menuai kesuksesan yang luar biasa.
Dengan guest conductor Singgih Sanjaya dan pelatih orkestra Bp. Sapto Ksvara Kusbini dari SMM Jogja,dapat memukau ratusan bahkan ribuan penonton yang rata rata mayoritas awam musik klasik.

Tujuan konser ini diadakan adalah untuk mengenalkan musik klasik kepada masyarakat,terutama di daerah Lampung.
Antusias penonton sangatlah besar,terbukti dari penjualan tiket sebulan sebelum konser mencapai 100%. Dalam konser ini,pemainnya adalah gabungan dari siswa siswi SMM Jogja, les privat, dan privat musik di Lampung.Tampak gambar diatas adalah latihan orkestra seksional yang dibimbing oleh Bp. Sapta Ksvara.Memegang concert master dari SMM adalah saya,Eko Yudhis,dengan guest conductor tidak tanggung tanggung yaitu, Singgih Sanjaya dari ISI Jogja yang merupakan tokoh musik yang hebat dengan berbagai aransemen dan permainan saxophonenya.

Dalam konser ini dibuka dengan Barber Sevilla Overture.memainkan beberapa repertoir lagu klasik.Antara lain : Symphony No 5 karya W A. Mozart , Blue Rondo ,dll.Dibawakan juga lagu lagu daerah yang langsung di aransemen oleh Singgih Sanjaya antara lain, Nyanyian Negeriku, Sik Sik Batu Manikam, dan Medley lagu tradisonal daerah Lampung.

Progam ini adalah perdana diluncurkan. Hampir 200 musisi muda bermain didalamnya.
Konser yang sudah di kemas secara hangat ini,menjawab apa yang menjadi pertanyaan dalam benak masyarakat tentang apa musik klasik itu.

Paduan suara yang diiringi orkestra, solo biola dengan lagu Humorisque,dan masih banyak lagi menambah kehebatan konser Apresiasi ini.

Konser yang berlangsung di Auditourium RRI Lampung pada tanggal 22 Juni 2007 ini akan terus diadakan setiap tahun di tempat yang berbeda beda.


Sampai jumpa dilain waktu dan mungkin kota anda yang mungkin kami singgahi untuk berapresiasi.

posting:
EkoYudhis
www.jogjaviolin.blogspot.com

belajar biola bukanlah suatu hal yang sulit,,enjoy with music!!!


Keinginan dan kemauan adalah kunci dalam menuju kesuksesan, Bakat bukan faktor penentu untuk dapat mahir memainkan alat musik, pada dasarnya semua orang dapat menguasainya sampai tingkat menengah, memang tidak dipungkiri bahwa untuk tingkat atas dibutuhkan bakat. Tingkat bakat setiap individu memang berbeda satu dengan lainnya, tapi banyak hal kekhususan seseorang yang kurang berbakat, tapi ternyata dapat lebih menonjol atau sukses dari orang yang berbakat, kita harus melihat seseorang itu secara utuh, karena bakat itu tidak mutlak, kadang kelebihan2 seperti karakter, sifat, pergaulan, kesempatan, keadaan, lingkungan justru lebih berperan dalam mencapai kesuksesan. Orang2 yang tidak berbakat hanyalah orang yang kalah sebelum bertanding dan tidak kuat kemauannya.

Sabtu, 10 Januari 2009





Musik Klasik

Posted in Art by Dhani on the September 12th, 2008

Apa itu musik klasik, dan komposisi seperti apa sih yang layak digolongkan sebagai musik klasik? Genre musik yang satu ini memang sering mengundang salah pengertian dimata mereka yang “awam”. Biasanya jenis musik ini dianggap identik dengan musik yang dimainkan oleh orkestra. Stereotip ini tidak selamanya benar, sebagaimana pengertian orkestra yang melulu diartikan sebagai musik yang dimainkan oleh sepasukan musisi dengan didominasi oleh alat musik gesek (string). Kenyataannya, gamelan itu juga orkestra koq.

Dalam pengertian aslinya, musik klasik adalah komposisi musik yang lahir dari budaya Eropa sekitar tahun 1750-1825. Biasanya musik klasik digolongkan melalui periodisasi tertentu, mulai dari periode klasik, diikuti oleh barok, rokoko, dan romantik. Pada era inilah nama-nama besar seperti Bach, Mozart, atau Haydn melahirkan karya-karyanya yang berupa sonata, simfoni, konserto solo, string kuartet, hingga opera. Namun pada kenyataannya, para komposer klasik sendiri tidak pernah menggolong-golongkan jenis komposisi yang mereka gubah. Penggolongan yang kita kenal sekarang dilakukan semata-mata untuk mempermudah, terutama untuk kepentingan akademis.

Ada pula pengertian lain dari musik klasik (walaupun yang ini jarang dipakai), yaitu semua musik dengan keindahan intelektual yang tinggi dari semua jaman, baik itu berupa simfoni Mozart, kantata Bach atau karya-karya abad 20. Istilah “keindahan intelektual” itu sendiri memiliki pengertian yang relatif bagi setiap orang. Dalam pengertian ini, musik dari era modern seperti Kitaro, Richard Clayderman, Yanni, atau bahkan Enya, juga bisa digolongkan sebagai musik klasik, tergantung dari sisi mana kita menikmatinya. Kalau kita lebih banyak menikmati elemen intelektual - dalam pengertian melodi, harmoni, atau aspek komposisi lainnya, maka jadilah ia musik klasik. Tapi kalau kita berpegang pada pengertian yang pertama tadi, maka jelas jenis musik ini tidak masuk dalam pengertian musik klasik. Untuk ini tersedia genre tersendiri, yaitu “new age”, atau terkadang juga digolongkan sebagai “art music”.

Kalau begitu, apakah musik yang sering dibawakan oleh orkestra Indonesia, Twilite misalnya, juga digolongkan sebagai musik klasik? Nah, persoalannya disini adalah kesalah-kaprahan yang terlanjur melekat sebagaimana yang ditulis diatas tadi. Twilite memang sering mendapat kritikan dari kalangan “mainstream” pecinta musik klasik, karena lebih banyak menyajikan musik pop yang dibungkus dalam kemasan klasik. Betulkah? Kenyataannya, Twilite memang bukan berada pada jalur musik klasik murni - walaupun dalam satu-dua kesempatan mereka juga mempagelarkan musik klasik. Yang biasa dipentaskan oleh Twilite sebenarnya adalah musik simfonik, atau Pops (pakai ’s’; merujuk pada musik pop dengan sentuhan aransemen simfonik-orkestra). Dengan demikian, yang salah adalah pengeritiknya yang justeru kurang paham pengertian musik klasik yang sebenarnya (kenyataannya, Twilite memang tidak pernah menyatakan kalau mereka mempagelarkan musik klasik).

Namun demikian, kritikan terhadap kelompok orkestra kita kadang-kadang ada benarnya juga. Misalnya, adalah “tabu” bagi sebuah orkestra profesional untuk memboyong alat musik semacam syntesizer (sebagai pengganti piano), atau gitar elektrik (untuk menggantikan gitar akustik) dalam pementasan, hal mana sering dipraktekkan oleh kelompok orkestra di negeri kita. Juga ada kritikan tentang soal yang rada-rada teknis, seperti peran konduktor, etika penonton, dan beberapa hal lain. Belum lagi soal pemain yang itu-itu saja. Tapi bagaimanapun, usaha untuk mengenalkan musik yang lebih “cerdas” untuk masyarakat kita perlu dihargai. Masak sih, kita mau terus-terusan dicekoki musik dengan model goyangan yang makin lama makin norak itu!